Senin, 27 Juli 2009

Bila Anak Mulai Menjengkelkan

Minggu, 26 Juli 2009 14:18 WIB

KOMPAS.com - Bila Anda pernah menonton acara Nanny 911, Anda mungkin pernah melihat tingkah laku anak-anak yang sudah mirip "monster". Mereka tidak bisa diberitahu dengan cara teguran atau pun bentakan. Anda sendiri mungkin juga pernah mengalaminya, meskipun tidak separah yang Anda lihat di televisi. Macam-macam yang mereka lakukan. Dari menolak makan, belajar, berkeras meminta sesuatu (tanpa bisa diberi pengertian bahwa Anda belum gajian), dan lain sebagainya.
Sikap anak yang menunjukkan ketidaksetujuannya pada orangtua sebenarnya sudah diawali sejak ia masih bayi. Pada umur 1 tahun, anak sudah "cukup usia" untuk melakukan sesuatu dengan caranya sendiri. Cara yang digunakannya memang seringkali berbahaya, berantakan, atau bisa menciderainya, sehingga membuat orangtua khawatir. Namun pada usia ini sebenarnya anak bukannya sedang membangkang. Mereka hanya perlu mendengarkan instruksi Anda berulang kali.
Saat anak sudah lebih besar, perilakunya memang cenderung berubah menjadi pembangkang, karena ia sudah lebih tahu apa yang diinginkannya. Repotnya, menurut Duane Alwin, sosiolog dari Penn State University, pada masa sekarang orangtua kurang memberikan nilai-nilai kepatuhan pada anak, demikian juga keselarasan, dan menghargai wewenang orangtua. Orangtua lebih tertarik membantu anak mempelajari hal-hal seperti toleransi dan kemandirian. Pada penelitian lain, Leon Kuczynski, psikolog dari University of Guelph di Ontario, Canada, mengatakan, orangtua modern ingin membesarkan anak dengan dasar membangun hubungan, sehingga mereka memilih tidak menerapkan disiplin yang tegas.
Menurut Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd, sebenarnya yang perlu dilakukan orangtua adalah mengembangkan situasi yang positif untuk anak. Bila anak menjadi menjengkelkan, biasanya hal ini disebabkan orangtuanya yang menjengkelkan mereka. Jadi, yang harus berubah lebih dulu adalah orangtua. "Sebaiknya, saat Anda sedang jengkel, jangan mengurusi anak. Biarkan Anda tenang dulu, melakukan recovery," ujar Pak Arief, seperti disampaikannya dalam seminar "Mengatasi Perilaku Menjengkelkan pada Anak", Jumat (24/7), di Jakarta Convention Center.
Pengamat pendidikan ini menekankan, anak hadir karena keinginan orangtuanya. Karena itu, orangtua tidak boleh enggan bekerja keras dan mudah menyerah dalam mendidik anak. Bahkan, orangtua yang bekerja pun harus selalu ingat bahwa dirinya harus mampu menyeimbangkan diri antara tugas sebagai ibu (atau ayah) dan sebagai wanita karir. Dasar untuk menjalankan kehidupan yang seimbang adalah dengan menetapkan aturan. Sampaikan peraturan tersebut pada anggota keluarga yang lain; bila perlu, tuliskan. "Jangan menganggap semua orang yang ada di sekeliling kita mengerti aturan yang kita tetapkan (jika kita tidak pernah menyampaikannya)," papar guru besar Universitas Negeri Jakarta ini.
Meskipun demikian, kita tidak harus selalu menyampaikan aturan tersebut dengan keras. Menyampaikan aturan yang keras kadang-kadang malah membuat anak kebal, dan mengabaikannya. Selain itu, kita memiliki otak kanan dan otak kiri yang harus dirangsang dengan seimbang. Otak kanan mengatur sikap patuh, disiplin, dan penurut. Sedangkan otak kiri lebih bebas, mendorong untuk berjalan sendiri, dan banyak bertanya.
Karena itu, bila menginginkan anak untuk melakukan sesuatu, kita tidak harus selalu menyampaikannya dengan nada perintah. Anda juga bisa memberikan dalam bentuk pertanyaan atau pilihan, misalnya, "Adek mau ikut Ibu pergi atau enggak?" Lalu jelaskan apa konsekuensi atau syaratnya, "Kalau mau ikut, habiskan dulu makanannya, ya?"
Tips mendisiplinkan anak:*Jangan memukul. Hal ini memberikan pesan bahwa menggunakan kekuatan (fisik) diperbolehkan. Lagipula, anak belum bisa memahami hubungan antara respons Anda dengan kesalahannya. *Jangan terlalu sering mengatakan "tidak" atau "jangan". Anak batita yang kelewat sering mendengarkan hal ini juga akan mengabaikannya, atau justru melakukan apa yang dilarang. Lebih baik Anda langsung mengatakan, "Adek, ayo matikan TV-nya." *Jangan langsung melunak jika anak menangis. Hal ini bisa digunakannya sebagai "senjata" bila keinginannya tidak dituruti. *Tetaplah tenang. Berteriak bisa membuat anak takut, namun hal itu belum tentu akan mengubah perilakunya. *Berikan penghargaan saat anak berperilaku baik. Beri ciuman, pelukan, atau kata-kata pujian saat ia mendengarkan atau menuruti perintah Anda. *Lakukan kontak mata. Hal ini menunjukkan respek dan menuntut perhatiannya.

GIZI YANG MEMADAI MEMBUAT ANAK CERDAS

Sabtu, 24 Mei 2008 20:01 WIB
KECERDASAN anak terbuka untuk dimanipulasi terutama oleh lingkungan yang kondusif bagi pendidikan, kata pengamat pendidikan Universitas Muhammadiyah Magelang, Riana Mashar. "Lingkungan memegang peranan penting untuk meningkatkan kualitas kecerdasan individu," katanya, di Magelang, Sabtu (24/5), saat seminar bertajuk "Meningkatkan Prestasi Anak melalui Optimalisasi Otak". Ia mengatakan, salah satu cara yang dapat dilakukan orangtua dan guru dalam meningkatkan kecerdasan anak adalah dengan memahami konsep pemberian pendidikan yang memusatkan perkembangan anak.Konsep itu, katanya, menekankan perlunya pendidikan yang menyesuaikan dengan usia, individu, dan kondisi sosial budaya. Ia menjelaskan, kesesuaian pendidikan dengan usia terkait dengan berbagai karakteristik individu secara umum berdasarkan tahap-tahap perkembangan dan hukum-hukum perkembangan yang bersifat universal. Kesesuaian pendidikan dengan individu terkait dengan konsep adanya perbedaan setiap individu sehingga pendidik perlu memerhatikan bahwa pola belajar individu yang satu dengan lainnya berbeda.Ia menjelaskan, kesesuaian pendidikan dengan kondisi sosial budaya terkait dengan lingkungan anak sehingga proses pendidikan yang diberikan diharapkan dapat lebih berorientasi pada kesesuaian dengan lingkungan anak.Peneliti Balai Penelitian Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) Borobudur, Untung S. Widodo, mengatakan, intervensi gizi yang memadai akan meningkatkan kecerdasan otak anak."Harus terpenuhi kebutuhan zat-zat gizi untuk pertumbuhan dan fungsi otak, dan organ-organ penting lainnya," katanya. Ia mengatakan, makin muda usia anak mendapatkan gizi yang memadai, makin besar pula kesempatan anak untuk meningkatkan kemampuan tumbuh kembangnya. "Tingkat kecerdasan otak dan organ lain punya fase usia optimum untuk ditingkatkan merupakan saat-saat diberikan intervensi gizi yang sesuai," katanya.

POTENSI SEORANG ANAK

Kamis, 23 Juli 2009 05:01 WIB

Siti berusia 16 tahun, tetapi kesan yang muncul, ia lebih tua. Saya bertemu dengan Siti setelah lulus SMA. Dia baru saja kembali dari Jakarta untuk merawat ibunya yang sakit. Ibunya bekerja mengurus rumah tempat kami berlibur, di tengah kebun teh.
Rambut keriting Siti adalah warisan ibunya, yang berasal dari Ambon, sedangkan dari bentuk tubuh serta wajah, Siti seperti alter ego saya sehingga saya ingin tahu tentang hidupnya.
Kami lebih saling mengenal di dapur. Sambil memotong bawang merah, ia sering cerita, ia menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta sejak usia 11 tahun dan putus sekolah sejak itu. Ia cerita bahwa ia senang kembali ke rumah. Sekeras apa pun ia bekerja untuk merawat ibunya dan rumah, tidak sekeras bekerja di Jakarta, sejak pukul 04.00 hingga 21.30. Saya tak terlalu memikirkan cerita Siti; saya pikir banyak perempuan muda bekerja di rumah orang lain. Biasa, pikir saya saat itu.
Setelah menjadi ibu, saya belajar bahwa kehidupan anak-anak tak sama satu dengan lainnya. Tidak semua anak memiliki harapan yang sama.
Hal universal
Namun, ada beberapa hal universal. Anak-anak memiliki kemampuan berkhayal. Tanpa khayalan mereka tidak dapat membangun keluarga sehat, tidak dapat belajar menghindari pelecehan atau kekerasan, tak dapat belajar untuk menyelesaikan ketidakadilan, melawan diskriminasi, atau memperbaiki pemanfaatan sumber daya alam yang tak berkelanjutan dan tak imbang. Guna memupuk khayalan, diperlukan pilihan, keamanan, dan pendidikan. Menjadi pekerja anak mengancam tiga pilihan itu.
Saya menghabiskan banyak waktu, dari masa kecil saya di Jawa, menemani Ibu, yang bekerja dengan para perempuan pengusaha kecil, membuat bantal kapuk, tegel, atau tembikar. Ibu bekerja dengan mereka untuk mengembangkan keterampilan usaha dan mengelola program kredit pedesaan. Beberapa tahun sebelum bertemu Siti, saya pernah ikut Ibu ke pabrik kretek. Untuk mengingatkan betapa beruntungnya saya, Ibu memaksaku menggulung rokok selama beberapa jam di pabrik itu, di mana ada banyak anak yang masih muda, beberapa bahkan belum remaja. Awalnya menyenangkan. Namun, tiga jam kemudian saya betul-betul merasa tidak adil; saya merasa jenuh, letih, dan frustrasi, dan membayangkan hidup selamanya dengan perasaan itu.
Sebagai seorang ibu dan guru bagi anak-anak perempuan, saya prihatin tentang keamanan pekerja rumah tangga anak, yang sebagian besar adalah anak perempuan. Saya ingat saat masih muda. Ibu dilimpahi rasa terima kasih karena kebaikan hatinya memberi upah layak, yang saya asumsikan tidak terlalu besar. Saya melihat pengaturan informal di rumah teman-teman yang lain: jelas tidak ada upah minimum atau lembur.
Orang-orang berpikir tak ada salahnya anak-anak melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak sepanjang hari... sampai malam; ini dianggap sebagai pekerjaan alamiah untuk seorang kakak kecil. Mereka berasumsi, anak-anak miskin, sudah seharusnya bekerja. Dan mereka takkan menggunakan pendidikan yang mereka dapat.
Pelecehan
Laporan terbaru Human Rights Watch, Pekerja di Dalam Bayang-bayang, mencatat eksploitasi dan pelecehan terus meluas di Indonesia, bersamaan dengan terus hidupnya mitos yang membatasi dan mendiskriminasi pekerja anak perempuan.
Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam menghormati hak-hak sipil. Namun, keadilan sosial mengharuskan kita untuk terus mempertanyakan berbagai norma dan memikirkan kondisi-kondisi di mana kita membiarkan standar rendah bagi anak-anak orang lain.
Saya tak bisa membayangkan bila anak perempuan saya bekerja tanpa perlindungan dari pelecehan fisik atau seksual, tanpa perawatan kesehatan, hidup sederhana di rumah mewah orang lain, terperangkap dalam hidup dengan sedikit kebahagiaan.
Indonesia bisa memberi pelajaran kepada dunia soal kebudayaan dan kekerabatan. Sebagai anak Indonesia, saya mohon kita semua bersama-sama menyadari sumber daya yang berlimpah dan tanggung jawab yang besar. Kita dapat mengatur sektor pekerja rumah tangga dan melindungi anak-anak dengan lebih baik. Kita dapat menciptakan model perjanjian kerja tertulis dan menjamin ketersediaan kondisi minimum dalam hal tempat tinggal, makanan, kebebasan bergerak, dan komunikasi dengan keluarga para pembantu kita.
Kita dapat memaksa para majikan untuk mencatatkan nama dan usia pekerja rumah tangganya kepada kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kita dapat menemukan berbagai macam cara membantu kaum miskin, membayar biaya sekolah hingga anak-anak mereka dapat tetap bersekolah dan tidak perlu bekerja. Kita dapat meningkatkan kesadaran hukum dan melibatkan masyarakat. Kita dapat mendesak penegak hukum untuk memerhatikan keluhan para pembantu rumah tangga. Kita dapat menekan pemimpin kita untuk menjadikan pekerja anak sebagai prioritas.
Kita harus menunjukkan kepekaan dan keberanian. Jika Indonesia hendak menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, bangsa ini harus melindungi kaum mudanya. Saya berharap cucu-cucu Siti memiliki aneka pilihan yang jauh lebih baik daripada yang dimiliki Siti, juga senantiasa mempertanyakan asumsi dan pengalaman sendiri sehingga dapat meningkatkan berbagai kemungkinan hidup lebih baik bagi anak-anak kita.
Maya Soetoro-Ng Guru Sekolah Menengah Atas; Lahir dan Besar di Jakarta bersama Abangnya, Barack Obama, Presiden AS

Anak Bilingual? Haruskah?

Selasa, 21 Juli 2009 15:20 WIB

KOMPAS.com — Para ibu cenderung menginginkan anaknya bisa menguasai beberapa bahasa dengan cara memasukkan anak ke preschool yang proses belajarnya menggunakan beberapa bahasa. Namun, terkadang mereka tidak memerhatikan apakah si anak dan ibunya sudah siap jika si kecil disekolahkan di tempat yang proses belajarnya menggunakan beberapa bahasa.
"Ibu memiliki peran penting untuk menstimulasi kecerdasan berbahasa si kecil terlebih dahulu sebelum mengajarkan si kecil berbahasa asing,” ujar Dr Rosemini AP, MPsi, di acara Enfa Enfa A+ Smart Adventure, di Mal Taman Anggrek, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lantas, kapankah sebaiknya anak belajar bahasa asing? Apakah anak harus belajar lebih dari 1 bahasa? Apa saja yang harus diperhatikan saat anak akan belajar berbahasa asing?
Seperti dilansir kantor berita Associated Press (AP), ada penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa otak anak-anak sangat mudah menerima bahasa asing. Ini menjadi sebuah penemuan yang diharapkan oleh para ilmuwan bisa membantu orang dewasa mengerti bahasa asing lebih mudah.
Menurut Dr Patricia Kuhl, dari University of Washington, waktu terbaik seseorang untuk belajar beragam bahasa adalah ketika ia berusia antara lahir hingga 7 tahun. Sementara tahap perkembangan anak untuk mengenal bahasa dimulai sejak ia masih bayi, namun lebih terlihat ketika ia berumur sekitar 6 bulan, dimulai saat ia merespons ketika namanya dipanggil.
Hingga usia 60 bulan, anak sudah lebih matang dalam berkomunikasi, misal untuk menghasilkan struktur kalimat yang bisa dimengerti. Tak jarang pula orangtua menganggap kecerdasan berbahasa sebagai hal yang sepele. Alhasil, tak jarang bahasa Indonesia sering kali masih salah dimengerti. Padahal, tiap daerah memiliki dialek dan arti dari sebuah kata yang berbeda-beda.
Dr Rosemini mengatakan, kecerdasan berbahasa seorang anak amat penting karena:
Membantu anak memahami informasi atau instruksi yang disampaikan, sehingga anak lebih mudah menangkap pelajaran dan mengembangkan kecerdasan anak.
Membantu anak berkomunikasi dengan lingkungan, baik lisan maupun tulisan (bisa berinteraksi timbal balik dengan lingkungannya).
Menghindari terjadinya kesalahpahaman.
Bisa menikmati karya bahasa (membaca buku cerita)
Bisa mengikuti hiburan lisan (memahami dongeng, cerita, puisi, bahkan humor yang disampaikan orang lain)
Lalu, apakah bahasa ibu saja belum cukup? Mengapa anak diharuskan belajar bahasa lebih dari satu? Dr Rosemini mengatakan bahwa anak belajar lebih dari satu bahasa bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain, karena lahir di keluarga dua bangsa, orangtua menguasai bahasa asing, pernah tinggal di luar negeri.
Selain itu, biasanya hal tersebut terjadi karena adanya kesadaran orangtua untuk memberikan pendidikan anak sebanyak mungkin, bahkan gengsi. Namun, perlukah? Dr Rosemini menjawab, memang perlu. Hal ini mengingat tuntutan globalisasi yang memungkinkan anak berinteraksi dengan dunia yang lebih luas. Namun, asal memenuhi beberapa aspek yang perlu diperhatikan orangtua sebelum menggunakan bilingual sejak dini.
Aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum mengajar anak bahasa bilingual, antara lain:
Usia dan kemampuan anak.
Anak akan lebih mudah menggunakan bilingual apabila ia telah mengasai bahasa ibu. Penelitian menunjukkan bahwa otak berkembang mengikuti pola tertentu. Di usia 3-6 tahun adalah bagian ketika otak depan berkembang. Sementara di usia 6-13 tahun, otak bagian belakang yang berkembang. Usia 6-13 tahun adalah masa yang efektif untuk anak belajar bahasa, terutama untuk bahasa kedua setelah bahasa ibu.
Namun, bayi pun bisa belajar bahasa sangat cepat. Secara rata-rata, bayi belajar bicara mulai dari usia 1 tahun, dan bisa mengucapkan hingga 50 kata ketika ia berusia 18 bulan. Dr Rosemini dan Dr Kuhl sepakat bahwa bayi belajar dan menyerap dengan cepat, seperti spons menyerap air. Namun, kemampuan itu perlahan menurun seusai anak menginjak usia pubertas.
Persiapan orangtua pun harus diperhatikan.
Orangtua juga harus menguasai bahasa kedua yang akan digunakan sehingga bisa membantu melancarkan perkembangan bahasa anak. Jangan sampai anak Anda bisa bicara bahasa asing, sementara Anda tak mengerti apa yang ia katakan.
Anda bisa mengajarkannya bicara bahasa asing ketika sedang bicara sehari-hari di rumah, atau titipkan anak di playgroup yang bilingual. Namun, jangan mengandalkan institusi sekolah atau tempat kursus untuk mengajarkan kemampuan bahasa pada anak.
NAD