Senin, 27 Juli 2009

POTENSI SEORANG ANAK

Kamis, 23 Juli 2009 05:01 WIB

Siti berusia 16 tahun, tetapi kesan yang muncul, ia lebih tua. Saya bertemu dengan Siti setelah lulus SMA. Dia baru saja kembali dari Jakarta untuk merawat ibunya yang sakit. Ibunya bekerja mengurus rumah tempat kami berlibur, di tengah kebun teh.
Rambut keriting Siti adalah warisan ibunya, yang berasal dari Ambon, sedangkan dari bentuk tubuh serta wajah, Siti seperti alter ego saya sehingga saya ingin tahu tentang hidupnya.
Kami lebih saling mengenal di dapur. Sambil memotong bawang merah, ia sering cerita, ia menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta sejak usia 11 tahun dan putus sekolah sejak itu. Ia cerita bahwa ia senang kembali ke rumah. Sekeras apa pun ia bekerja untuk merawat ibunya dan rumah, tidak sekeras bekerja di Jakarta, sejak pukul 04.00 hingga 21.30. Saya tak terlalu memikirkan cerita Siti; saya pikir banyak perempuan muda bekerja di rumah orang lain. Biasa, pikir saya saat itu.
Setelah menjadi ibu, saya belajar bahwa kehidupan anak-anak tak sama satu dengan lainnya. Tidak semua anak memiliki harapan yang sama.
Hal universal
Namun, ada beberapa hal universal. Anak-anak memiliki kemampuan berkhayal. Tanpa khayalan mereka tidak dapat membangun keluarga sehat, tidak dapat belajar menghindari pelecehan atau kekerasan, tak dapat belajar untuk menyelesaikan ketidakadilan, melawan diskriminasi, atau memperbaiki pemanfaatan sumber daya alam yang tak berkelanjutan dan tak imbang. Guna memupuk khayalan, diperlukan pilihan, keamanan, dan pendidikan. Menjadi pekerja anak mengancam tiga pilihan itu.
Saya menghabiskan banyak waktu, dari masa kecil saya di Jawa, menemani Ibu, yang bekerja dengan para perempuan pengusaha kecil, membuat bantal kapuk, tegel, atau tembikar. Ibu bekerja dengan mereka untuk mengembangkan keterampilan usaha dan mengelola program kredit pedesaan. Beberapa tahun sebelum bertemu Siti, saya pernah ikut Ibu ke pabrik kretek. Untuk mengingatkan betapa beruntungnya saya, Ibu memaksaku menggulung rokok selama beberapa jam di pabrik itu, di mana ada banyak anak yang masih muda, beberapa bahkan belum remaja. Awalnya menyenangkan. Namun, tiga jam kemudian saya betul-betul merasa tidak adil; saya merasa jenuh, letih, dan frustrasi, dan membayangkan hidup selamanya dengan perasaan itu.
Sebagai seorang ibu dan guru bagi anak-anak perempuan, saya prihatin tentang keamanan pekerja rumah tangga anak, yang sebagian besar adalah anak perempuan. Saya ingat saat masih muda. Ibu dilimpahi rasa terima kasih karena kebaikan hatinya memberi upah layak, yang saya asumsikan tidak terlalu besar. Saya melihat pengaturan informal di rumah teman-teman yang lain: jelas tidak ada upah minimum atau lembur.
Orang-orang berpikir tak ada salahnya anak-anak melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak sepanjang hari... sampai malam; ini dianggap sebagai pekerjaan alamiah untuk seorang kakak kecil. Mereka berasumsi, anak-anak miskin, sudah seharusnya bekerja. Dan mereka takkan menggunakan pendidikan yang mereka dapat.
Pelecehan
Laporan terbaru Human Rights Watch, Pekerja di Dalam Bayang-bayang, mencatat eksploitasi dan pelecehan terus meluas di Indonesia, bersamaan dengan terus hidupnya mitos yang membatasi dan mendiskriminasi pekerja anak perempuan.
Indonesia telah mencapai banyak kemajuan dalam menghormati hak-hak sipil. Namun, keadilan sosial mengharuskan kita untuk terus mempertanyakan berbagai norma dan memikirkan kondisi-kondisi di mana kita membiarkan standar rendah bagi anak-anak orang lain.
Saya tak bisa membayangkan bila anak perempuan saya bekerja tanpa perlindungan dari pelecehan fisik atau seksual, tanpa perawatan kesehatan, hidup sederhana di rumah mewah orang lain, terperangkap dalam hidup dengan sedikit kebahagiaan.
Indonesia bisa memberi pelajaran kepada dunia soal kebudayaan dan kekerabatan. Sebagai anak Indonesia, saya mohon kita semua bersama-sama menyadari sumber daya yang berlimpah dan tanggung jawab yang besar. Kita dapat mengatur sektor pekerja rumah tangga dan melindungi anak-anak dengan lebih baik. Kita dapat menciptakan model perjanjian kerja tertulis dan menjamin ketersediaan kondisi minimum dalam hal tempat tinggal, makanan, kebebasan bergerak, dan komunikasi dengan keluarga para pembantu kita.
Kita dapat memaksa para majikan untuk mencatatkan nama dan usia pekerja rumah tangganya kepada kantor Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Kita dapat menemukan berbagai macam cara membantu kaum miskin, membayar biaya sekolah hingga anak-anak mereka dapat tetap bersekolah dan tidak perlu bekerja. Kita dapat meningkatkan kesadaran hukum dan melibatkan masyarakat. Kita dapat mendesak penegak hukum untuk memerhatikan keluhan para pembantu rumah tangga. Kita dapat menekan pemimpin kita untuk menjadikan pekerja anak sebagai prioritas.
Kita harus menunjukkan kepekaan dan keberanian. Jika Indonesia hendak menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, bangsa ini harus melindungi kaum mudanya. Saya berharap cucu-cucu Siti memiliki aneka pilihan yang jauh lebih baik daripada yang dimiliki Siti, juga senantiasa mempertanyakan asumsi dan pengalaman sendiri sehingga dapat meningkatkan berbagai kemungkinan hidup lebih baik bagi anak-anak kita.
Maya Soetoro-Ng Guru Sekolah Menengah Atas; Lahir dan Besar di Jakarta bersama Abangnya, Barack Obama, Presiden AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar